Sabtu, 24 Maret 2012

( Hak Asasi Manusia ) HAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    DEFINISI
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Hak azasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
            Banyak aktifitas yang dijalani oleh setiap manusia di muka bumi ini, dengan porsi dan klasifikasi yang berbeda-beda. Hal tersebut merupakan bentuk dinamika dalam kehidupan manusia itu sendiri yang saling terkait satu sama lainnya.
            Salahsatu hal yang menyamakan mereka adalah adanya kepemilikan hak asasi yang sama, yakni hak dasar yang bersifat personal dalam rangka untuk mengembangkan dirinya. Dengan hak tersebut setiap individu manusia diharapkan mampu memperoleh pengakuan atas eksistensi dirinya dalam lingkungan, baik dalam keluarga, masyarakat maupun sampai kepada komunitas yang lebih luas atau bersifat internasional.
            Oleh karena itu, sudah sepatutnya hak azasi seseorang tersebut mendapatkan perlindungan secara konstitusional, agar antara manusia yang satu dengan yang lainnya mampu lebih menghargai hak asasi tersebut sebagai sebuah anugerah Tuhan yang tidak ternilai, sehinnga tidak bisa dirampas ataupun diperjualbelikan.
Menurut UU no.26 tahun 2000, berbunyi : bahwa HAM merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng oleh karena itu harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan.
Ada beberapa sifat HAM yang disebutkan dalam UU no.26 tersebut, yakni universal dan langgeng. Ini mengindikasikan bahwa pengakuan HAM tersebut tidak terbatas pada satu bidang atau kelompok saja namun diterima secara menyeluruh di dunia ini. Pendapat ini didasarkan pada pandangan barat yang menganggap manusia sebagai konsep utama dalam penerapan HAM. Namun tentunya pandangan mengenai ke-universal-an itu sendiri berbeda halnya dengan pandangan HAM menurut pihak timur yang lebih kental aspek theosentris dan adat istiadat budayanya.
Akan tetapi tidak peduli pandangan barat atau timur, secara umum kita dapat menangkap penjelasan dari UU no.26 ini mengenai aspek universalitas, bahwa setiap manusia memiliki hak asasinya masing-masing yang patut dihargai dan dihormati dimana pun manusia itu berada. Manusia berhak untuk mengaspirasikan apa yang menurut manusia tersebut butuhkan dengan catatan tetap memperhatikan hak-hak orang lain yang tentunya ingin juga dihormati.
HAM bersifat langgeng dapat diartikan bahwa keberlakuan HAM tersebut tidak mengenal expires atau kadaluarsa. HAM melekat pada diri manusia hingga manusia tersebut mati. Sehingga dari hal tersebut diketahui betapa pentingnya hak azasi bagi seorang individu untuk dijaga dan senantiasa dijunjung tinggi.

B.     Pendekatan Normatif Hak Asasi Manusia (HAM) berdasar pada Hakikatnya
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

C. Pembagian dasar HAM menurut ragam dan bentuknya:
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right          
-Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat    
-Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat   
-Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan  
-Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan  yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
-Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan        
-hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan 
-Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
-Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
-Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan  
-Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns          
-Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths     
-Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli           
-Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak       
-Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll     
-Hak kebebasan untuk memiliki susuatu        
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5.Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights 
-Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan      
-Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan           penyelidikan di mata hukum.
6.Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right    
-Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan   
-Hak mendapatkan pengajaran          
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat




BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya konflik Israel-Palestina bermula akibat dominasi kaum Yahudi terhadap bangsa Arab yang telah mendiami hamper seluruh wilayah Palestina. Bangsa Yahudi yang semasa Perang Dunia I tercerai berai., berusaha mengumpulkan kembali seluruh kaumnya dan berniat mendirikan Negara Israel. Dukungan dari berbagai negara yang memegang kekuasaan Palestina semakin membuat bangsa Yahudi bergerak untuk menghimpun kembali bangsanya. Hal inilah yang kemudian berkembang menjadi gerakan yang disebut Zionisme Yahudi. Karena Amstrong menyebutkan Zionisme sebagai gerakan utnuk membangun tanah air Yahudi di Palestina yang merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkaunnya. Oleh karena itu, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zionisme tidak dapat diklaim sebagai gerakan seluruh orang Yahudi.
            Pemilihan negara palestina sendiri sebagai basis Bangsa Yahudi memang tak lepas dari aspek teologis yang diyakini bangsa Israel. Mereka meyakini arti penting Palestina yang awalnya menjadi basis ideologi sekular Yahudi sebagi ”tanah yang dijanjikan Tuhan”. Konflik pun dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Seperti ditulis Trias Kuncahyono, israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerussalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate,24 juli 1922). Di pihak lain, palestina juga menyatakan Jerusalem akan menjadi ibu kota negara Palestina merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu. Konflik pun sulit dihindarkan karena kedua pihak sama-sama mengkalim hak atas tanah Palestina bukan hanya karena alasan latar belakang sejarah tetapi juga menyangkut masalah symbol spiritualitas besar bagi kedua pihak yang bertikai.
            Pendeklarasian negara Israel secara sepihak semakin menimbulkan amarah yang begitu besar dari kalangan masyarakat Arab. Peperangan demi peperangan pun tak dapat dihindari. Konflik bersenjata pertama antara Arab dan Israel pun terjadi hanya beberapa hari setelah diproklamasikannya negara Israel. Perang 1948 ini lebih dikenal dengan sebutan Al Nakba dan dimenangkan oleh Israel setelah lebih dari satu tahun bertempur ketika perang berakhir pada tahun 1949 PBB pun mengakui keberadaan negara israel, namun begitu israel sama sekali tidak mendapatkan pengakuan diplomatis dari semua negara-negara Arab.
            Pada tahun 1967 konflik antara Arab Israel kembali pecah. Perang yang juga dikenal dengan Six-Days War(perang enam hari) ini kembali dimenangkan Israel. Perang ini membuat Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Kekalahan negara-negara Arab ini kemudian dibalas dengan menyerang Israel tepat sebelum peringatan hari Yom Kippur pada tahun 1973. Perang Yom Kippur ini mengakibatkan Israel terpaksa mengembalikan Semenanjung Sinai dan Gaza kepada Mesir melalui sebuah perjanjian perdamaian pada tahun 1979.
            Sejak itu, sejumlah konferensi perdamaian pun dilakukan untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina. Dimulai dengan Madrid Conference  yang dilaksanakan pada tahun 1991 yang menghasilkan diterimanya pronsip ”Land for Peace” sebagai dasar setiap upaya penyelesaian maslah Israel-Palestina, dan kemudian dilanjutkan dengan Oslo Accords I pada tahun 1993 danOslo Records II  atau persetujuan Taba pada tahun 1996 yang menghasilkan ”Declaration of Principles” (DoP) yang ditandatangani di Washington. DoP meletakkan suatu kerangka bagi Palestina untuk mengatur sendiri secara terbatas Jalur Gaza dan Jericho (di tepi Barat).
            Bulan Oktober 1998 kembali diadakan perundingan Wye River I  yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Oslo II yang belumtuntas diimplementasikan oleh Israel. Dalam memorandum ini ditegaskan bahwa pemerintahan Israel harus menarik pasukannya dan menyerahkan 13 % wilayah tepi Barat dalam tiga tahap, setahun berikutnya yaitu pada tanggal 4 september 1999 diselenggarakan pertemuan Sharm El-Sheikh  yang berhasil menetapkan memorandum Wye River II yang memuat tentang penarikan lebih lanjut israel dari 10 % wilayah tepi Barat, pelepasan 350 orang tawanan palestina, safe passage, pembangunan pelabuhan laut di Gaza, kerjasama keamanan dan persetujuan mengenai status tetap. Pada tahun 2000, Amerika Serikat menyelenggarakan perundingan Camp David yang membahas isu-isu utama mengenai status kota Yerusalem, wilayah/batas negara palestina di waktu yang akan datang, dan masalah pengungsi palestina. Perundingan yang berlangsung selama dua minggu tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
            Kemudian di tahun 2003, Amerika Serikat bersama-sama Rusia, PBB dan Uni Eropa memprakarsai rencana perdamaian Israel – Palestina yang dikenal dengan Peace Road Map ( Peta Jalan Damai ) yang berupa sebuah pedoman perdamaian guna menyelesaikan konflik Petalisna – israel. Road Map dideskripsikan sebagai suatu ”perfomance-based plan” yang pada intinya menjabarkan langkah-langkah resiprokal yang harus diambil oleh kedua pihak berdasarkan suatu ”timeline” dengan penetapan fase-fese yang harus dilalui. Kemudian pada tahun 2007, Quartet on Middle East yang menggagas proposal peace Road Map kembali mengadakan Konferensi di Annapolis dan pertama kali membicarakan mengenai solusi dua negara .
            Banyaknya kinferensi perdamaian yang digagas untuk mengakhiri konflik Israel Palestina ini memang selalu mengalami kegagalan. Hampir semua perjanjian yang diadakan berisi tentang penarikan pasukan Israel dari daerah pendudukan serta pengkuan bagi kedua belah pihak. Selain itu, berbagai perundingan yang digagas juga selalu mengalami kendala akibat seringnya terjadi pergantian kepemimpinan di tubuh Isarel. Pergantian pemimpin ini sangat berdampak bagi terlaksananya perdamaian karena tiap-tiap pemimpin Israel memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi Palestina.
            Konflik antara Israel – Palestana tampaknya pun masih akan berlangsung lama sejak kembali dimulainya invasi yang terjadi dijalur Gaza pada awal tahun 2009. Gaza, yang sejak pemilu 2006 dimenangkan oleh Hamas menjadi sasaran tembakan dan serangan oleh serdadu Israel. Ironisnya, serangan ini terjadi hanya sembilan hari setelah habisnya masa gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada 19 Desember 2008. Banyaknya pejuang Hamas dari kubu Palestina serta serdadu Isrsel kembali menjadi korban. Tak cukup dengan serangan udara, pasukan Israel juga mulai melakukan serangan darat yang dilengkapi dengan tank dan artileri dengan dalih untuk mencegah serangan udara dilakukan oleh pejuan Hamas. Alasan yang bersifat defensif inilah yang sejak dulu kerap dikeluarkan oleh Israel untuk melegalkan setiap serangan yang dilancarkan.
            Dalam operasi militer yang terjadi di Gaza baru-baru ini, Israel mengarahkan kekuatan dari berbagi lini. Diawali dengan serangan udara pada beberapa hari di awali serangan darat. Semantara pengepuan yang dilakukan Israel ini otomatis membuat jalur Gaza. Pengepungan yang dilakukan Israel ini otomatis membuat jalur Gaza terosilasi dari dunia luar. Padahal, warga Palestina yang bermukim di Gaz ini sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan dari pihak luar.
            Sejak kemenangan Hams di Gaza dalam pemilihan Umum 2006, Israel telah berulangkali menutup perbatasannya dengan Gaza. Penutupan ini tentu mengakibatkan tertutupnya akses perekonomian, akses kesehatan dan lain-lain bagi warga sipil Gaza. Kelaparan dan kemiskinan pun menjadi masalah yang harus dihadapi oleh warga Palestina yang bermukim di daerah tersebut. Apabila, semenjak invasi yang dilakukan Israel, pintu perbatasan dengan mesir pun amat dibatasi dengan alasan mencegah masuknya persenjataan yang ditunjukan untuk pejuang Hamas. Bantuan kemanusian yang datang dari berbagai belahan dunia pun tidak diperbolehkan melintas Gaza yang tentu saja membuat kaadaan warga sipil Palestina semakin menderita.
            Serangan ini kemudian mendapat respon hebat dari masyarakat internasional. Aksi menentang agresi militer di Gaza pun berlangsung gencar di berbagai negara. Seluruh dunia dari berbagai negara, bangsa dan agama seakan bersatu mengencam tindakan brutal yang dilakukan oleh Israel. Para penganut agama Yahudi disejumlah negara oun ikut bersuara. Bahkan di Amerika Serikat sendiri muncul aksi yang dihadiri sekurang-kurangnya dua puluh ribu orang yang menuntut kekerasan dihentikan dan sekaligus mengkritik bantuan dana dan pasokan senjata yang diberikan pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Israel.
            Kecaman dan kutukan juga datang dari Indonesia. Respon masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama muslim pun datang dari berbagai bentuk. Mulai dari demonstrasi, penyebaran selebaran hingga pengiriman relawan untuk berjihad membantu rakyat Palestina melawan serangan Israel. Di Indonesia sendiri, konflik Israel – Palestina ini memang telah terjadi isu konflik agama yang sangat sensitif di kalangan masyarakat muslim. Pandangan ini di dasarkan pada asumsi bahwa Pelastina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Karena itulah, demonstrasi yang banyak dilakukan olh masyarakat muslim Indonesia berisi ajakan untuk memboikot semua produk yang berbahu Yahudi. Demonstrasi anti Yahudi ini terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina telah mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia terutama masyarakat muslim Indonesia. Namun ternyata kutukan dan kecaman yang berdatangan dari berbagai belahan dunia ini tidak membuat Israel menghentikan serangannya. Hingga sat ini korban pun masih berjatuhan akibat ulah keegoisan serdadu Israel.    
Substansi Konflik
            Berdirinya Negara Israel berpijak dari Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) Nomor 181 tentang pembagian wilayah Palestina yang ditetapkan pada tanggal 29 November 1947. Pada saat itu, Majelis Umum PBB mengadakan pemungutan suara dan mengeluarkan resolusi tersebut yang mengaskan membagi tanah Palesytina menjadi dua bagian, yaitu 56 persen untuk Yahudi dan 4 persen untuk Arab. Awalnya, kaum Yahudi hanya diberi Hak menguasai 56 persen wilayah Palestina. Namun pada 11 Mei 1949, PBB mengesahkan penguasaan kaum Yahudi terhadap 80 persen wilayah Palestina dengan mengakui keanggotaan Israel di PBB.
   Pada tanggal 1 Mei 1998, Ben Gurion sebagai pimpinan Zionisme mengundang seratus orang terkemuka dan para wartawan untuk menghadiri pertemuan di museum Tel Aviv, dan ia memproklamasikan berdirinya Negara Yahudi di Palestina yang dinamakan Negara Yahudi, areal Yerussalem berjumlah total 21,1 km2, 20 km2 yang membentuk wilayah Yerusalem baru. Setelah itu dibagi menjadi wilayah-wilayah berikut sesuai dengan kesepakatan genjatan senjata tahun 1949 :
1.      Wilayah Arab mencakup 2,4 km2, kira-kira 11,48 % wilayah kota.
2.      Wilayah yang dijajah Israel mencakup 17.7 km2, kira-kira 86,03% wilayah kota.
3.      Wilayah yang dikuasai oleh PBB mencakup 1 km2, kira-kira 4.39% kota.
Masalah perbatasan inilah yang menjadi substansi konflik antara Israel dan Palestina sejak lama. Hal ini dikarenakan Israel menguasai Palestina dengan menerapkan taktik ekspansionisme dan terorisme Negara. Bahkan sejak pedeklarasiannya, Israel telah membuka front permusuhan dengan Negara-negara Arab secara terus menerus. Israel selalu menganggap dan berupaya untuk menjadiNegara terkuat di Timur Tengah dengan berusaha menghancurkan Negara Arab yang dianggap berbahaya bagi keamanan Negara dan Eksistensi Israel sendiri.
   Klaim wilayah Jerusalem ini telah menjadi sumber konflik karena dianggap penting oleh saat membahas mengenai pembagian wilayah Jerusalem. Trias Kuncahyono mengutip Dershowitz menuliskan, pembagian Jerusalem menjadi bagian Israel dan bagian Palestina sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilayah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan symbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga,  dan tempat yang diyakini umat islam sebagai bagaian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika mengalami perjalanan malam dari Mesjid al Haram ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul Munthaha.
   Bangsa yahudi menganggap Palestina sebagai “the promised land” dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini tertindas. Menurut Ralph Schoenman, ada empat mitos yang menjadi pijakan bangsa Yahudi untuk melegalisasi kedatangannya di Palestina, yaitu :
1.      Mitos bahwa Palestina adalah “negeri tanpa bangsa untuk bangsa tanpa Negari”
2.      Mitos demokrasi, bahwa Israel kelak merupakan satu-satunya Negara demokrasi di timur-tengah
3.      Mitos keamanan, bahwa Israel dipaksa menghadapi ancaman besar dari Negara-negara Arab sehingga menjadi penggerak kebijakan luar negeri Israel, dan
4.      Mitos holocaust bahwa Israel adalah pewaris beban moral dari koraban holocaust oleh Nazi Jerman.
Selain mitos tanah yang dijanjikan, mitos holocaust ini juga menjadi sandaran historis yang menggerakkan bangsa Yahudi untuk mendapatkan wilayah Palestina.
   Aspek teologis yang melatar belakngi konflik ini memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan-kebijakan politik yang di ambil oleh Negara Israel. Dukungan Negara-negara maju khususnya Amerika Serikat pada pendeklarasian Negara Israel pada tahun 1948 semakin mengukuhkan kekuasaan Israel yang berada di tanah Palestina. Jere L.Bacharach menuliskan ada dua peristiwa sejarah penting yang menjadi pondasi bagi berdirinya Negara Yahudi di Palestina. Pertama adalah perjanjian Sykes-Pycot 1916 antara inggris dan perancis yang membagi peninggalan dinasti Utsmani di wilayah Arab. Pada perjanjian tersebut ditegaskan bahwa Perancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Libanon, sedangkan Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Jordania. Sementara Palestina dijadikan status wilayah Internasional. Peristiwa penting yang kedua adalah deklarasi Balfour pada tanggal 12 November 1917 yang ditanda tangani menteri luar negeri Inggris Arthur James Balfour dimana Inggris mengakui hak-hak Yahudi yang bersejarah atas Palestina, selanjutnya bersedia menyediakan fasilitas guna terbentuknya satu tempat tinggal yang bersifat nasional bagi uamt Yahudi.
    Dibawah Legitimasi Sykes-Pycot dan deklarasi Balfour inilah warga Yahudi mulai melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Palestina. Selain melakukan gelombang imigrasi yang sangat cepat, warga Yahudi juga mulai melakukan dominasi terhadap sumber-sumber alam palestina. Sikap kolonialisasi Yahudi ini konten mendapatkan reaksi yang cukup keras dari rakyat paletina. Kerusuhan yang dilakukan oleh penduduk asli sebagai bentuk protes mereka pada penduduk Yahudi pun tak dapat dihindari lagi. Situasi seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan berlangsung terus-menerus. Karena itulah perlu perubahan yang mendasar dalam menangani permaslahan Israel-Palestina.

Bentuk Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Pelanggaran HAM dalam Konflik Palestina-Israel 2008-2009

Dalam rangka memperingati Pengesahan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) ke-60, Departemen Urusan Tahanan Palestina mempublikasikan mengenai pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, khususnya mengenai tahanan Palestina, antara lain; 100 tahanan Palestina dalam beberapa tahun terakhir ini, gugur syahid akibat siksaan di penjara Zionis Israel, 170 lainnya ditembaki ketika ditangkap. Disebutkan pula, 47 tahanan gugur syahid akibat minimnya pelayanan kesehatan di penjara Zionis Israel. Sejak tahun 1967, Rezim Zionis Israel menangkap lebih dari 800ribu warga Palestina, 337 warga Palestina hingga kini masih berada di penjara Zionis Israel sejak intifada pertama  tahun 1987 Menurut data The University of Iowa Center for Human Rights,
Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut, Antara Lain :
-          Dua anak laki-laki Israel Usia 4 & 5 tahun, ditembak mati di tempat tidur mereka, bersama dengan ibu mereka oleh seorang pria bersenjata Palestina mengklaim pembalasan atas tentara Israel membunuh militan Palestina senior (The Daily Telegraph, Inggris, 2002).
-           Seorang gadis Palestina 10 tahun dari As-Sawiya, ia meninggal karena usus buntu pecah, ketika itu ayahnya dicegah oleh tentara Israel untuk membawanya ke rumah sakit di Nablus (B'Tselem: Informasi Israel Pusat Hak Asasi Manusia di Daerah Pendudukan, 2003).
-          14 % pada tahun 2002 Israel yang mengatakan mereka akan meninggalkan rumah mereka dan pindah jika mungkin karena takut dari kekerasan Israel-Palestina dan walaupun mereka kemudian akan menanggung label yordim Ibrani negatif ("mereka yang pergi ke bawah"), kebalikan dari olim ( "orang-orang yang naik") ke Sion; pada tahun 2001, imigran Yahudi dari Amerika Utara ke Israel berjumlah 1.159, turun dari 11% dari tahun sebelumnya (Yahudi Telegraphic Agency, 2003).
-           22 % anak-anak keturunan Arab di Israel benar-benar terpisah sistem sekolah umum selama 1999-2000 tetapi hanya menerima 14% dari seluruh jam mengajar sekolah (Human Rights Watch, 2001).
-          36 tahun pendudukan militer Israel di Tepi Barat dan Gaza (selanjutnya disebut "Wilayah Pendudukan") sejak 1967 "Perang Enam Hari" antara Israel, di satu sisi, dan Mesir, Yordania, dan Syria, di sisi lain, melampaui Jepang 34 tahun pendudukan Korea untuk menjadi pendudukan militer terlama dalam sejarah modern
-           55 tahun itu telah diambil sejak awal konflik Israel-Palestina untuk sebuah rencana perdamaian internasional resmi merekomendasikan pembentukan negara Palestina yang layak hidup berdampingan dalam damai dan keamanan dengan Israel(IsraelStudies,2003).
-          65 % Palestina yang pengangguran telah meningkat antara Intifadah al-Aqsa mulai 29 September 2000 sampai Juni 2003, dengan sekitar 80.000 Palestina kehilangan pekerjaan di Israel dan 60.000 hilang dalam Wilayah Pendudukan (Informasi Pengembangan Kesehatan dan Policy Institute, 2003).
-           75 % dari penduduk Palestina di Wilayah Pendudukan yang hidup di bawah garis kemiskinan $2 per orang, lebih dari 2/3 dari mereka anak di bawah usia 18 tahun (Informasi Pengembangan Kesehatan dan Policy Institute, 2003).
-          87 anak-anak Israel ( usia ≤16 tahun) dibunuh "oleh warga sipil Palestina" di Wilayah Pendudukan dan di Israel (usia ≤13 tahun) dari awal Intifadah Pertama 9 Desember 1987, untuk "akhir Desember 2002") ( B'Tselem: Pusat Informasi Israel untuk HAM di Daerah Pendudukan, 2003).
-          92 anak-anak Israel ( usia ≤17 tahun) dibunuh "oleh orang Palestina" di Wilayah Pendudukan dan "di dalam Jalur Hijau" dari Intifadah al-Aqsa mulai 29 September 2000
-          31 Mei 2003 (Hak Asasi Manusia Palestina Monitoring Group, 2003).
-    15.000 perkiraan jumlah orang Palestina yang ditahan oleh pemerintah Israel antara Maret 2002 dan Juni 2003, termasuk 6.000 dari mereka saat ini di penjara (350 dari mereka anak-anak), yang 1.700 berada di bawah penahanan administrasi (termasuk 30 anak-anak) tanpa tuduhan atau pengadilan dan banyak dari mereka yang terkena penyiksaan, menderita trauma psikologis, dan kekurangan perawatan medis yang memadai (Informasi Pengembangan Kesehatan dan Policy Institute, 2003).

            Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu sengketa yang paling bertahan dan eksplosif dari semua konflik di dunia. Isu-isu yang terkait dari konflik ini antara lain; saling pengakuan, perbatasan, keamanan, hak-hak air, pengendalian Jerusalem, pemukiman Israel dan berkenaan dengan hukum mengenai pengungsi. Kekerasan yang dihasilkan dari konflik telah mendorong tindakan internasional, serta keamanan lainnya dan hak asasi manusia, baik di dalam dan di antara kedua belah pihak, dan internasional.
Sesuai dengan apa yang dikatakan Departemen Urusan Tahanan Palestina mengenai data pelanggaran HAM, khususnya mengenai tahanan Palestina, dalam laporan tersebut disinggung mengenai kondisi buruk penjara Zionis Israel, tempat penahanan warga Palestina, dan cara-cara penyiksaan para tahanan Palestina. Hal inilah yang dikatakan bahwa implikasi perang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap penghormatan HAM.
Mengingat kehancuran yang telah terjadi atas bangsa Palestina, Israel berkewajiban moral untuk melakukan hal terbaik apapun yang mungkin dilakukan. Tindakan itu antara lain haruslah berupa bantuan bagi pembentukan sebuah negara berdaulat Palestina di seluruh Tepi Barat dan Gaza dengan ibukota Jerusalem Timur. Israel tidak boleh berkeberatan dengan negara Palestina ini, selain itu Israel harus menyiapkan landasannya melalui perbaikan-perbaikan yang tulus. Hal ini dapat menghentikan aksi-aksi kekerasan sporadis terhadap Israel, sebab hasrat bangsa Palestina yang sah untuk memiliki negara sendiri akan terwujud.

            Dalam konflik Israel-Palestina, hal yang utama adalah integritas dan keutuhan wilayah. Ibukota Jerusalem merupakan jantung historis, spiritual, dan komersial Palestina. Kedaulatan negara di ibukota Jerusalem tidak mungkin dapat dipisahkan dari negara Palestina
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Sebelumnya kita harus flash Back dan melihat akar permasalahan  dari konflik yang kemudian terjadi ini,  konflik yang berkepanjangan ini diindikasi karena kedua kubu tidak memiliki kadaulatan dan pengakuan satu sama lain. Israel yang telah berdiri sejak enam dekade silam  kini telah memiliki komponen dan elemen pendukung untuk menjadi sebuah negara yang berdaulat (wilayah, rakyat, pemerintahan, hukum) sehingga sepatutnya harus negara – negara liga Arab yang lain termasuk Palestina harus mengakui Israel sebagai satu kesatuan sebuah negara Yang berdaulat.

Ditinjai dari sudut pandang Palestina, hingga saat ini pula Palestina hanya dikenal dalam penyebutan bangsa. Dalam artian persatuan rakyat di wilayah ini hanya diasumsikan sebagai sebuah kelompok yang berada disatu kesatuan dalam sebuah wilayah, yang juga hingga saat ini tidak ada pengakuan resmi dari PBB untuk anggapan Palestina sebagai negara yang Berdaulat. Oleh karena itu  sudah sepantasnya apa yang kemudian  yang diimpikan oleh bangsa Israel untuk mendapatkan pengakuan resmi dari PBB dan Internasional untuk menjadi suatu negara yang berdaulat harus segera direalisasikan.

Konflik Israel Palestina semoga saja dapat berujung di meja perundingan yang menghasilkan kesepakatan damai. Tidak adal lagi pelanggaran HAM, tidak ada lagi penyiksaan warga sipil, tidak ada lagi anak – anak yang menjadi korban perang, tidak ada lagi wanita yang menjadi janda karena ditinngal suaminya untuk berperang, tidak ada lagi  rumah sakit dan tempat ibadah yang di bumi hangsukan dan kemudian hanya satu yakni kedamaian di Palestina adalah harapan rakyat Palestina, Harapan Dunia.



DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Trias Kuncahyono. Jerusalem: Kesucian,konflik,dan Pengadilan akhi. Jakarta : Kompas,2008, Hal 256-257

Yeyen Rostiyani, Inside Gaza : Genosida Israel di Gaza dan Palestina, Jakarta : Kinza Books, 2009 hal 71



Tidak ada komentar: