Memasuki tahun 2012, terdapat fenomena yang sangat menarik
mengenai perkembangan teori angsa terbang. Dimana, China
akan mengeser posisi Jepang sebagai pemimpinnya. Fakta ini diperkuat dari
kajian sebuah lembaga konsultan bisnis, Goldman Sach memperkirakan PDB China
melampaui Jerman 2010, melampaui
Jepang 2015 dan melampaui Amerika Serikat
(AS), tahun 2040. Sedangkan, menurut laporan World Bank yang dirilis tahun
1997, berjudul: ‘China 2020’,
menggambarkan prestasi ekonomi China
yang luar biasa mampu melipatduakan income percapitanya. Hebatnya lagi, untuk
menjadi negara yang berpengaruh dalam perekonomian global, China hanya
membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987), sementara negara lain, seperti-Inggris
membutuhkan 100 tahun, AS 47 tahun, Jepang 34 tahun, dan Korea Selatan 11 tahun.
Dengan demikian, Asia telah mengkokohkan
dirinya sebagai pusat perekonomi dunia yang tidak lagi berada di Eropa atau
Amerika. Faktanya, kita telah menyaksikan kebangkitan ekonomi China yang
melengkapi sejarah kesuksesan Jepang, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan,
Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam perekonomian global.
Belajar dari kesuksesan China, sudah saatnya Indonesia
mengambil peran yang signifikan dalam perekomian Asia sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi global, mengingat modal yang dimiliki Indonseia sangat besar, seperti-jumlah
penduduk yang akan menjadi nomor tiga di tahun 2030, letak geografisnya sangat
strategis diapit dua benua dan dua samudera, ditepi Pasific Basin sebagai wilayah
pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, sumber
kekayaan alam melimpah. Dengan kata
lain, Indonesia
memiliki semua syarat yang diperlukan untuk menjadi negara yang maju dan kuat. Namun demikian, pemerintah harus memiliki political will guna merancang dan
membangun masa depan negara dalam percaturan ekonomi Asia sebagai bagian dari
pusat perkembangan ekonomi dunia yang akan dipimpin oleh China mengantikan posisis Jepang,
sebagaimana yang dijelaskan dalam teori angsa terbang (the flying geese).
TEORI ANGSA TERBANG
Saburo Okita yang mencetuskan teori angsa
terbang menganalogikan “kebiasaan” angsa di negara empat musim. Dimana, pada
musim gugur segerombolan angsa akan terbang ke arah selatan untuk menghindari
musim dingin dengan formasi berbentuk huruf "V" dengan satu peminpin
di depannya. Teori ini menggambarkan bahwa perkembangan perekonomian kawasan
Asia Pasifik layaknya seperti kawanan angsa dengan Jepang sebagai leadernya.
Sedangkan, angsa-angsa lain seperti; China, Korsel, Taiwan, dan negara-negara Asia
Tenggara berfungsi penyedia tempat bagi industri padat karya Jepang yang sangat
tergantung pada teknologi Jepang. Kawasan Asia Tenggara berada pada posisi yang
paling belakang dari formasi ini, namun demikian setiap angsa akan mengepakkan
sayapnya guna memberikan "daya dukung". Dengan kata lain, angsa yang
terbang di belakangnya tidak perlu bersusah-payah untuk menembus 'dinding
udara' yang ada di depannya.
Dalam
formasi "V", seluruh kawanan angsa akan dapat menempuh jarak terbang
71 persen lebih jauh daripada kalau setiap angsa terbang sendirian. Angsa yang
besar dan kuat berada paling depan sebagai perisai melawan arus udara dan
membuka jalan bagi angsa lainnya yang lebih lemah. Sebagaimana yang dibuktikan Dietrich
Hummel, seorang insinyur penerbangan dengan pengaturan seperti ini dapat
menghemat energi hingga 23 persen. Fakta lainnya, secara alamiah ketika angsa
pemimpin yang terbang di depan menjadi lelah, maka akan terbang memutar ke
belakang formasi dan angsa lain akan terbang menggantikan posisinya.
Kebangkitan
ekonomi China
dalam dasa warsa terakhir menjadikannya sebagai negara yang akan mengambil alih
posisi Jepang. Tanda-tanda ke arah tersebut sudah terlihat jelas, dimana China telah
menjadi salah satu negara industri terbesar di dunia dengan menyedot
ketersediaan sumber daya alam dan manusia. Produknya telah membanjiri
pasar-pasar di berbagai belahan dunia. Demikian pula, kemajuan iptek China
mengalami lompatan yang sangat signifikan. Pencapaian secara ekonomi tentu akan
berhubungan dengan posisi politik China di fora internasional. Oleh karena
itu, China
sangat diperhitungkan sebagai kekuatan ekonomi politik global dengan cadangan
devisa 2, 85 triliun dollar. Bahkan,
China sudah
mampu melampaui Perancis, Jerman dan Inggris sebagai negara dengan ekonomi yang
maju. Diperkirakan dalam 10 - 15 tahun mendatang, China akan mampu melampaui Jepang
sebagai negara ekonomi terkuat di dunia, berdasarkan pertumbuhan ekonominya
yang sangat pesat di atas negara-negara maju lainnya. Realitasanya, Amerika
Serikat (AS) justru kian bergantung pada China, dimana defesit anggaran AS
tahun 2009 melampaui 8,1 trilliun dollar AS dengan utang kumulatif mendekati 12
trilliun dollar AS.
BEJARA DARI CHINA
Di
tengah kemajuan pesat perekonomian China,
Indonesia
dipredikasikan akan menjadi satu dari sepuluh negara besar di dunia dibidang
ekonomi di tahun 2025. Dimana, pendapatan domestik bruto diperkirakan mencapai
3,7-4,4 triliun dolar AS, sementara pendapatan per kapita 12.800-16.160 dolar
AS. Untuk mewujudkan realitas tersebut
Pemerintah Indonesia bisa
belajar dari China
yang telah menggunakan strategi seni Perang Sun Zi dalam mengelola sumber
dayanya dengan mencetuskan, "kemampuan untuk mengalahkan musuh tanpa
pertempuran sama sekali merupakan cermin strategi yang paling hebat", guna
membanggun perekonomiannya. Dengan pertumbuhan ekonomi selalu di atas 10 persen
(sebelum krisis), membuat negara-negara di dunia, termasuk AS sangat ingin meningkatkan hubungan dengan China
untuk menyangga perekonomian AS yang sedang limbung. IMF memperkirakan China telah
menyumbang sekitar dua pertiga pertumbuhan ekonomi global tahun 2008-2010.
Kemajuan ekonomi China, pasca reformasi di tahun
1978 sangat fenomenal. Reformasi ekonomi yang dirancang dengan rapi dan
konsisten dikembangkan ke masa depan sangat sukses, sehingga cadangan
devisanya mencapai 2, 85 triliun dolar
AS (2011) dan mampu memberi subsidi ekspor. Pendapatan per kapita China
sekarang sudah mencapai US$ 1.740 dengan pertumbuhan di atas 9 persen per tahun
sejak 1978. Melihat ke belakang, tiga
puluh tahun yang lalu China
punya jejak kaki yang sangat kecil sekali dalam perekonomian global. Dimana,
pengaruhnya terbatas pada negara-negara
yang hanya mempunyai hubungan politik dan militer dengan China. Sekarang, China
merupakan kekuatan ekonomi yang luar biasa; menjadi pusat industri manufaktur
dunia, penyedia dana paling terkemuka, investor utama dari Afrika sampai Amerika Latin, serta
menjadi pusat sumber riset dan pengembangan berbagai industri yang mempunyai pengaruh
ekonomi secara luas.
Kesuksesan
China dalam percaturan
perekonomian global menandakan bahwa China
telah berhasil mengangkat nilai-nilai humanisme dalam bidang perekonomiannya.
Nilai-nilai humanisme, seperti kerja keras, disiplin, pantang menyerah, serta
kreatif telah mengantarkan China
menjadi bangsa timur yang mandiri, kuat, dan sangat berpengaruh terhadap
perekonomian dunia. Oleh karena itu, Indonesia
seyogyanya belajar dari China
bagaimana membangkitkan spirit “kemandirian” dibidang ekonomi untuk mengambil
bagaian dari perekonomian global. Berdasarkan realitas yang ada, Indonesia seharusnya
bisa menjadi bagian dari segerombolan angsa terbang dan sudah siap mengejarnya
untuk menjadi pemimpin seperti telah
dilakukan China yang akan mengantikan posisi Jepang sebagai pemimpin dalam
formasi V. Faktanya, Indonesia memiliki kearifan lokal nilai-nilai humanis yang
belum dimanfaatkan sebagaimanaa yang dikembangkan China guna mendukung
perekonomiannya. Kita, tunggu kinerja Pemerintahan Administarsi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dibidang ekonomi tahun 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar