Tujuh dosa sosial menurut Mahatma Gandhi
Terdapat sedikitnya Tujuh dosa sosial menurut Mahatma Gandhi. Ketujuh dosa sosial tersebut adalah: (i) kekeyaan tanpa kerja; (ii) kenikmatan tanpa suara hati; (iii) pengetahuan tanpa karakter; (iv) bisnis tanpa moralitas; (v) ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan; (vi) agama tanpa pengorbanan; (vii) politik tanpa prinsip.
Pertama, Kekayaan tanpa kerja
Ini mengacu pada praktek mendapatkan sesuatu tanpa modal atau usaha, hanya memanipulasi pasar, aset, orang dan barang, sehingga anda tidak harus bekerja atau menghasilkan nilai tambah. Sekarang banyak profesi yang berkenaan dengan menumpuk kekayaan tanpa bekerja, mengumpulkan banyak uang tanpa membayar pajak, mengambil keuntungan dari dana-dana pemerintah tanpa menanggung bagian beban keuangan yang wajar, dan menikmati semua keuntungan dari status suatu warga negara dan keanggotaan suatu badan hukum tanpa mau memikul resiko atau tanggung jawab apa pun. Ini semua didasarkan pada suatu rencana cepat kaya atau spekulasi yang menjanjikan pelakunya dengan iming-iming, “Anda tidak perlu bekerja untuk menjadi kaya.” Motif emosional yang utama adalah ketamakan.
Tingkah laku dan norma-norma sosial yang demikian akan menimbulkan distorsi. Bagaimanapun apabila anda menjauhi hukum alam, maka cara penilaian anda akan terpengaruh secara negatif. Anda akan mendapatkan ide-ide yang menyimpang. Sering kita ketahui banyak eksekutif yang menceritakan bagaimana mereka meninggalkan hukum dan prinsip-prinsip alam itu selama beberapa waktu, lalu mulai secara berlebihan membangun, meminjam uang dan berspekulasi tanpa benar-benar membaca arus atau memperoleh umpan balik yang obyektif. Kini mereka menanggung hutang besar. Mungkin mereka harus bekerja keras hanya untuk bertahan hidup.
Kembalilah ke hal-hal dasar. Tangan kembali ke bajak. Tak perlu ragu untuk bersikap konservatif, berpegang teguh pada hal-hal yang mendasar, dan lebih suka tetap kecil namun terbebas dari hutang.
Kedua, Kenikmatan tanpa suara hati
Pertanyaan utama dari orang yang belum matang, egois, dan suka kenikmatan adalah, “Apa manfaatnya bagi saya? Apakah ini akan menyenangkan saya? Apakah ini akan memudahkan saya?” Banyak orang mendambakan kenikmatan namun mengabaikan suara hati dan tanggung jawab, bahkan mereka melupakan atau meninggalkan sama sekali keluarganya dengan alasan mengerjakan urusan mereka sendiri. Mereka menganggapnya sebagai bentuk kemandirian. Tetapi kemandirian bukan keadaan yang paling dewasa, hanya sebuah posisi di tengah jalan menuju kondisi kesalingtergantungan - kondisi yang paling maju dan matang.
Kenikmatan tanpa suara hati merupakan salah satu godaan bagi para eksekutif saat kini. Banyak orang menganggap dirinya telah sukses lalu merasa bebas untuk melakukan apa yang diinginkannya. Mereka mencari kenikmatan. Padahal kenikmatan tanpa suara hati hanya menimbulkan luka dan sakit hati bagi orang-orang lain.
Suara hati adalah tempat bersemayamnya kebenaran dan prinsip-prinsip abadi - monitor internal hukum alam. Belajarlah untuk memberi dan menerima, tidak hidup egois, peka, penuh perhatian. Jika tidak, maka tidak akan ada rasa tanggung jawab sosial dalam kegiatan-kegiatan kenikmatan kita.
Ketiga, Pengetahuan tanpa karakter
Bagaimanapun berbahayanya pengetahuan yang sempit, jauh masih lebih berbahaya pengetahuan tanpa karakter yang kuat dan berprinsip. Perkembangan intelektual yang murni tanpa perkembangan karakter internal yang sepadan sama halnya dengan menyerahkan mobil sport bertenaga tinggi ke tangan remaja yang kecanduan obat bius. Sayangnya ada saja orang yang tak suka dengan pendidikan karakter, karena mereka menganggap, “Itu adalah urusan sistem nilai anda.” Tetapi anda bisa mendapatkan seperangkat nilai umum yang disetujui semua orang, bahwa kebaikan, keadilan, martabat, sumbangsih, dan integritas adalah patut untuk dipertahankan. Tak seorang pun akan menentang anda dalam hal ini. Jadi, marilah memulai dengan nilai-nilai yang tidak dapat dipertentangkan kemudian memasukkan nilai-nilai itu ke dalam sistem pendidikan, pelatihan dan pengembangan perusahaan kita. Marilah mencapai keseimbangan yang lebih baik antara perkembangan karakter intelektual.
Keempat, Bisnis tanpa moralitas
Adam Smith, dalam bukunya Moral Sentiments, menjelaskan betapa mendasarnya dasar moral bagi keberhasilan sistem ekonomi; yaitu bagaimana kita saling memperlakukan satu sama lain, semangat untuk berbuat baik, melayani, memberi bantuan. Apabila kita mengabaikan dan membiarkan sistem ekonomi berjalan tanpa dasar moral serta tanpa pendidikan berkelanjutan, kita akan segera membentuk masyarakat dan bisnis yang tidak bermoral, kalau bukan asusila.
Bagi Adam Smith, setiap transaksi bisnis merupakan tantangan moral agar kedua belah pihak memperoleh hasil yang adil. Keadilan dan kemauan baik dalam bisnis adalah tiang penyangga sistem perdagangan bebas yang disebut kapitalisme. Sistem ekonomi kita merupakan hasil dari demokrasi konstitusional dengan pemenuhan hak-hak minoritas juga. Semangat menang-menang adalah semangat moralitas, semangat saling menguntungkan, semangat keadilan bagi semua yang terlibat.
Kelima, Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan
Apabila ilmu pengetahuan semuanya menjadi teknik dan teknologi, ilmu pengetahuan dengan cepat akan merosot menjadi manusia melawan kemanusiaan. Teknologi berasal dari paradigma ilmu pengetahuan. Jika hanya sedikit sekali tujuan kemanusiaan yang ingin dicapai oleh teknologi, maka kita akan menjadi korban teknologi kita sendiri. Bagaimana pun teknologi harus bersandar pada dinding yang benar; yaitu kemanusiaan. Bila tidak, maka evolusi atau bahkan revolusi dalam ilmu pengetahuan takkan atau sedikit sekali membawa pada kemajuan manusia yang nyata dan berharga.
Satu-satunya hal yang belum berevolusi adalah hukum dan prinsip-prinsip alam. Misal, sebelah utara pada kompas tak pernah berubah. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah wajah hampir semua yang lain. Tetapi hal yang mendasar masih tetap berlaku seiring dengan berlalunya waktu.
Keenam, Agama tanpa pengorbanan
Tanpa pengorbanan kita mungkin aktif dalam kelompok agama namun tidak hidup beriman. Kelompok agama hanyalah tirai sosial agama belaka. Tidak ada kerja sama nyata dengan orang-orang, atau berusaha lebih keras lagi, atau mencoba memecahkan masalah-masalah sosial kita. Melayani kebutuhan orang lain memerlukan pengorbanan, setidaknya pengorbanan kesombongan dan prasangka diri kita sendiri.
Jika sebuah agama hanya dilihat sebagai suatu sistem hierarki biasa, pemeluknya tidak akan memepunyai semangat pelayanan atau semangat ibadah yang mendalam. Sebaliknya mereka akan memusatkan perhatian pada ritual lahiriyah dan semua bentuk-bentuk luar agama yang bisa dilihat. Namun, mereka bukan orang-orang yang berpusat pada Tuhan atau prinsip.
Pemimpin-pemimpin tangguh yang bersemangat pengabdian tinggi memiliki kerendahan hati. Ini adalah tanda-tanda orang yang benar-benar beriman. Ada banyak CEO yang merupakan pemimpin abdi yang rendah hati, yang mengorbankan kebanggaan dan membagi kekuasaan mereka. Mereka memiliki pengaruh baik di dalam dan di luar perusahaan. Sedihnya banyak orang menginginkan “agama” atau paling tidak berpenampilan beragama tanpa mau melakukan pengorbanan apa pun. Mereka menginginkan spiritualitas yang besar namun tak mau berpuasa sedikit pun atau diam-diam memberikan pelayanan.
Ketujuh, Politik tanpa prinsip
Tidak sedikit politisi menghabiskan banyak uang untuk membangun citra, meskipun citra itu dangkal, tiada isi, hanya untuk memperoleh suara dan jabatan. Bila ini terjadi, maka sistem politik akan bekerja terlepas dari hukum-hukum alam. Padahal Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat menulis, “Kami percaya kebenaran-kebenaran ini dengan sendirinya, bahwa Manusia diciptakan stara, bahwa mereka diberkati oleh Pencipta dengan Hak-hak tertentu yang melekat pada dirinya, antara lain hak akan kehidupan, kemerdekaan, dan pencarian kebahagiaan.”
Hal yang perlu dijadikan bahan introspeksi antara lain, bahwa menarik sekali mengamati bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir di
Indonesia sudah terjadi lebih dari 200 kerusuhan/amuk massa, bahkan ada
surat kabar yang mengatakan bahwa di tahun 1998 saja ada 200 kerusuhan besar
kecil terjadi di bumi Indonesia! (catatan: belum termasuk bencana alam yang
juga bertubi-tubi menimpa bumi Indonesia). Fakta inilah yang seharusnya menjadi bahan introspeksi, yang meliputi: (i) kesenjangan sosial; (ii) konflik pribumi-pendatang; (iii) primordialisme sara; (iv) arogansi penguasa; (v) saluran politik yang tersumbat; (vi) provokasi sebagai alat politi; (vii) main hakim sendiri; (viii)
1. Kesenjangan sosial;
Faktor utama penyebab kerusuhan adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang
sangat mencolok. Bila jutaan manusia Indonesia di PHK dan kelaparan,
segelintir manusia Indonesia masih menikmati bunga deposito uang yang
diperoleh mereka melalui KKN, dan sampai saat ini di era reformasi (atau
yang bagi yang papa disebut era repotnasi) belum satupun koruptor yang
dijatuhi hukuman, apalagi disita hasil korupsinya. Dikala sebagian besar
masa rakyat masih tinggal di kampung kumuh yang becek dan gelap di saat itu
para arsitek membantu para konglomerat membangun mall-mall dan gedung-gedung
kantor yang serba wah tanpa mempedulikan yang melarat.
2. Konflik ‘Pribumi-Pendatang’
Sejak program transmigrasi besar-besaran digalakkan di Indonesia pada tahun
1950 untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa, transmigrasi
besar-besaran diusahakan dengan membuka lahan tranmigrasi di pulau-pulau
lainnya. Semula dampaknya kurang menimbulkan konflik, tetapi ketika para
pendatang yang umumnya lebih kuat daya-juangnya ketimbang pribumi yang
secara turun temurun tinggal di lokasi mulai memperoleh keuntungan besar dan
menduduki posisi-posisi administratip, kenyataan menunjukkan bahwa hal ini
telah menimbulkan konflik berkepanjangan yang dampaknya baru kita rasakan
belakangan ini. Konflik di lokasi transmigrasi dimana para pendatang mulai
diusir bisa kita saksikan umumnya di lokasi-lokasi transmigrasi, lebih-lebih
di Papua, ex-Timtim, Maluku, Kalbar, bahkan Aceh.
3. Primordialisme SARA
Konflik SARA sudah menunjukkan terkoyaknya ‘Pancasila’ yang dahulunya dipuji oleh mancanegara. Indonesia. Konflik antar Suku makin mengemuka di
Indonesia, konflik suku terjadi di areal transmigrasi dimana suku-suku yang
berbeda bisa saling usir tanpa mempedulikan lagi bahwa dahulu para
nenekmoyang mereka saling bahu-membahu membela tanah air; Konflik antar
pengikut Agama sudah menunjukkan terkuaknya dosa-dosa bangsa Indonesia di
hadapan Tuhan. Sudah belasan Klenteng/Vihara dirusak/dibakar masa, dan puluhan mesjid dan ratusan gereja mengalami nasib serupa. Isu agama memang
paling sensitif sehingga ada yang rela mati demi memaksakan kehendak
agamanya; Konflik Ras paling ramai menimpa ras Cina yang faktualnya memang
menguasai ekonomi Indonesia, akibatnya setiap kerusuhan selalu berdampak
dirusak/dibakarnya harta milik etnis ini. Konflik Antar Golongan makin
menjadi-jadi belakangan ini sehingga konflik tidak lagi terbatas secara
external tetapi juga internal.
4. Arogansi Penguasa
Kursi memang empuk tapi kursi kekuasaan membuat pantat melekat erat.
Tragisnya, di Indonesia penguasa lebih menganggap diri mereka sebagai ‘raja
feodal’ yang bahasa sononya ‘the king can do no wrong’. Akibatnya, kalau ada
kesalahan masyarakat umum akan dikejar-kejar dan dipenjarakan sekalipun
tidak jelas apa salahnya, sebaliknya kesalahan penguasa sekalipun sudah
kasat mata selalu ditutup-tutupi sehingga terlihat sekali arogansi penguasa
yang ‘mau menang sendiri’. Sekalipun era reformasi sudah dimasuki,
kelihatannya belum ada perubahan berarti dalam perilaku penguasa sekalipun
sudah sedikit membaik. Tidak ada pejabat tinggi yang bisa dijatuhi hukuman
pengadilan.
5. Saluran Politis yang Tersumbat
Penguasa politik adalah penguasa tunggal. Suara-suara reformasi tidak selalu
berhasil eksis karena selalu masih dibungkam. Kalau dahulu suara politis
dibungkam dengan penculikan atau pembredeilan, sekarang suara politis
dibungkam dengan mengerahkan massa. Saluran politis yang tersumbat terlihat
jelas dengan adanya fakta yang nyaris terjadi sehari-hari dimana rakyat
seperti para guru, tukang becak, petani maupun para buruh, suaranya tidak
terasa terwakili oleh wakil-wakil mereka yang gajinya minta dinaikkan terus itu,
ini mendorong mereka ber’demo’ ria langsung ke jantung perwakilan di
Senayan.
6. Provokasi sebagai alat Politik
Rupanya untuk mencapai tujuan politik kekuasaan, kerusuhan/amuk massa bisa
diprovokasi untuk mengarah pada tujuan politik tertentu. Orang di bumi
Lorosai bisa diadu domba tanpa disadari, para provokator ikut membumi
hanguskan tradisi pela gandong di Maluku, bahkan kyiai-kyiai bisa jadi
sasaran Ninja yang bisa raib tanpa terusut. Provokasi adalah alat ampuh
untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari suatu fokus politik ke fokus
politik lainnya, dan dampaknya kembali harus dialami rakyat miskin yang
harus mengungsi di tenda-tenda tidak sehat dan hidup dengan rasa ketakutan.
7. Main Hakim Sendiri
Rupanya budaya ‘tawuran’ (keroyokan) dan main hakim sendiri bukan monopoli
anak sekolah atau warga Manggarai di Jakarta, sebab sekarang partai-partai
politik bisa mengerahkan ’satgas-satgas’nya untuk mencapai tujuan politik
mereka. Show of Force massa demikian bisa dilihat dengan jelas dalam
mobilisasi ‘tabliq akbar’ sekitar Monas untuk menekan presiden, dan untuk
jadi presiden harus ada kota-kota yang dirusuhkan dahulu, dan untuk membela
presiden bisa saja kantor surat kabar diduduki. Massa bisa dengan mudah
mengamuk dan menjadi hakim dengan menutup kelab malam, tempat judi,
pelacuran, atau tanpa penyelidikan seorang yang dituduh ‘pencuri’ bisa
dihakimi massa diluar pengadilan. Ini makin sering terjadi dan menunjukkan
bahwa kepercayaan massa pada polisi, pengadilan maupun hukum sudah merosot
begitu rendah.
Kesimpulan
Multikulturalisme merupakan “ideologi” dari sebuah masyarakat yang tersusun oleh keragaman etnik karena dukungan keragaman etnik atau kebudayaan dalam arti luas. Ideologi multikulturalisme ini diartikan sebagai suatu bentuk respek yang bersifat mutual (saling menguntungkan) dari satu etnik kepada etnik lain. Oleh sebab itu multikulturalisme memerlukan pembaruan bukan pembauran, pro-eksistensi bukan ko-eksistensi, inklusi bukan eksklusi, dan interaksi bukan separasi. Hal itu diperlukan dalam rangka mempertahankan eksistensi Negara Republik Indonesia dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa sesuai dengan yang tercantum dalam konstitusi UUD Negara RI 1945 dan bersumber pada Pancasila.
Saran
Multikulturalisme tidaklah berarti penyuburan sikap etnosentrisme. Multikultural-isme adalah keadaan kodrati dalam masyarakat yang perlu diupayakan agar tidak mewujudkan konflik. Hendaknya perlu dikembangkan upaya komunikasi sehingga dapat memahami karakter dan unsur-unsur penting yang terdapat dalam kebudayaan yang berbeda dan akhirnya menumbuhkan sikap saling menghargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar