Konsep ini semula berawal
dari gagasan sang Presiden AS yang baru terpilih ke-44, Barack Obama.AS dinilai
Obama telah terlalu banyak berkutat atas kekuasaan yang dipegangnya, lalu
menilai bahwa kekuatanlah yang pantas ditunjukkan kepada dunia.Sebenarnya Obama
begitu merasa bangga bahwa AS dapat menjadi panutan kekuatan negara-negara lain
sehingga menjadi cukup disegani oleh dunia di bidang militernya yang terbilang
cukup luar biasa.Namun Obama melihat bahwa tak selamanya rakyat AS harus bangga
dengan kekuasaan dan kemenangan terhadap seluruh negara lain, yang dalam arti
bahwa AS memiliki banyak sekutu dengan negara lain.
Rakyat AS dalam hal
ini dilihat oleh Obama telah merasa terancam justru karena rasa kepemimpinannya
didunia dinilai banyak negara sebagai suatau kejahatan karena selalau
mengedepankan perang dan kekerasan lainnya.Kata lainnya adalah, AS telah lama
memakai sistem hard power dan juga diplomasi yang selalu menghasilkan
kebijakan-kebijakan luar negeri yang begitu menyiksa bahkan bagi negara-negara
lain.Dan kita tahu bersama bahwa AS setelah dipimpin selama dua periode oleh
George W.Bush, sudah secara terang-terangan mengedepankan hard diplomacy
bahkan tidak kelihatan soft diplomacy yang ditunjukkannya, hal ini pula
yang mengakibatkan AS menjadi musuh sentral dunia.Sungguh ironis memang, AS
yang dinilai sangat over-protected dibawah Bush kini menjadi ancaman
bagi seluruh negara bahwa jangan pernah main-main dengan stabilitas dan
kedaulatan negara-negara masing-masing, apalagi menyangkut tentang isu-isu
sentral yang jadi pembahasan utama bagi AS, antara lain terorisme.
Kembali ke konsep
dasar yang kini diterapkan oleh AS mengenai smart power and diplomacy, smart
power merupakan konsep yang mulai diperkenalkan oleh Joseph Nye, seorang
profesor lulusan Harvard University yang juga pernah menjabat sebagai asisten
Menteri Pertahanan AS. Dalam definisi Nye, soft power AS adalah ‘its ability to attract others by the
legitimacy of US policies and the values that underlie them.‘ Bagi Nye, dalam
menjalankan peran internasionalnya, AS seharusnya mengedepankan daya tarik dan
persuasi. Negara lain mengikuti dan mengakui kepemimpinan AS bukan karena
terpaksa ataupun takut, melainkan karena tertarik dan menyetujui. Instrumen
yang digunakan untuk mewujudkan soft power itu adalah budaya,
nilai-nilai politik, dan kebijakan AS.
Menurut Nye, soft power
ini absen di era kepemimpinan Bush. Presiden dari Partai Republik itu lebih
mengedepankan kekuatan militer alias hard power dan abai terhadap
kepemimpinan budaya. Padahal, ditilik dari sejarah, soft power inilah
faktor paling penting bagi keberhasilan AS memenangkan Perang Dingin. Absennya soft
power ini berbahaya bagi kepemimpinan AS di level global.
“When US policies lose their
legitimacy in the eyes of others, distrust grows, reducing US leverage in
international affairs,” ujarnya memperingatkan.
B.MELIHAT SEKILAS KONSEP DIPLOMASI AMERIKA
SERIKAT SEBELUM SMART POWER
“We must use what
has been called smart power – the full range of tools at our disposal. With
smart power, diplomacy will be the vanguard of foreign policy,” demikian diucapkan Hillary di depan para anggota Senat yang tengah
‘menguji’ dia. “America cannot solve the most pressing problems on our own,
and the world cannot solve them without America,” tambah mantan rival Obama
dalam konvensi Capres Partai Demokrat itu.
Pernyataan Hillary ini
menandakan sebuah keterputusan nyata dengan kebijakan luar negeri pemerintahan
sebelumnya di era George W Bush. Bagi Bush yang merupakan dedengkot
neokonservatisme dan dikelilingi oleh orang-orang sangat neokonservatif itu,
peran global AS harus ditunjukkan dengan tajam dan tegas: senjata yang memaksa.
Kita bisa melihat manifestasinya dalam berbagai kebijakan AS di Afganistan, Irak,
dan secara lebih umum ‘perang global melawan terorisme.’
Meminjam istilah Gramsci,
alih-alih mengandalkan upaya-upaya diplomatik yang mengedepankan persetujuan (consent)
dari negara-negara lain yang menjadi ciri era hegemoni AS di era Perang Dingin,
Bush lebih banyak mengandalkan kekuatan pemaksa (coercive power).
Alhasil, resistensi pun mengemuka. Bermacam perlawanan datang dari berbagai
pihak, baik perlawanan senjata, budaya, politik, maupun ekonomi. Tingkah pola
AS selalu terdelegitimasi. Tak ada lagi ‘persetujuan’ terhadap apa yang
dilakukan dan diperintahkan oleh AS.
Hillary menyadari betul hal
itu. Selama 8 tahun masa pemerintahan Bush, peran AS di level internasional
lebih menyerupai momok yang menakutkan ketimbang pemimpin yang menyejukkan. AS
menjadi obyek kecaman di mana-mana. Kebijakan luar negerinya selalu tak
populer, tidak hanya di mata masyarakat negara lain, tetapi juga di mata rakyat
AS sendiri. Karena itulah dia bermaksud merevisinya dengan ‘smart power.’
C.MENGUKUR KEMAMPUAN HILLARY CLINTON DALAM PROSES
SMART DIPLOMACY
‘Smart Power.’ Kata
itulah yang digunakan Menteri Luar Negeri pilihan Obama, Hillary Clinton, untuk
menyebut strategi kebijakan luar negeri AS ke depan di era pemerintahan Obama.
Dalam imajinasi isteri mantan Presiden Bill Clinton itu, peran global AS
seyogyanya lebih bersifat diplomatik alih-alih militeristik.
Wanita flamboyan ini bukan
wanita pertama menduduki “ Secretary of State” di Amerika Serikat.
Sebelumnya tampil Medelin
Allbright dibawah pemerintahan Presiden Bill Clinton dan Condoleezza Rice
dibawah pemerintahan George W.Bush. Menlu Allbright dikenal cerdas, luwes
tetapi tegas. Misi diplomasinya di Timur Tengah mampu meyakinkan negara-negara
di kawasan ini untuk tetap berpegang dalam kerangka perdamaian.
Mampu melunakkan Faksi
Fatah di Palestina bahwa jalan perdamaian dengan Israel penting, meski tidak
disetujui oleh Faksi Hamas. Condoleezza Rice sebagai pengganti, setelah Collin
Powel mengundurkan diri sebagai menteri luar negeri AS, berpenampilan lebih
lincah dan cepat mewakili Bush.
Wanita “Afro-America” ini
memiliki “track– record” yang lumayan prestisius, karena sebelum ditunjuk
sebagai menteri luar negeri AS sempat menduduki jabatan sebagai penasehat
keamanan (Security Advisor for the President) President Bush. Rice juga
tercatat sebagai peloby yang unggul. Wanita kulit hitam ini dipercaya Bush
untuk menjalankan kebijakan luar negeri AS yang keras dan lebih bersifat
“Unilateral.”
Berbeda dengan kedua
pendahulunya, Hillary Rodham Clinton tampak bersemangat dengan setumpuk agenda
politik luar negerinya. Kurang lebih satu bulan setelah dilantik sebagai
“Secretary of State “ atau Menteri Luar Negeri AS, agenda “The Building of
American Image” menjadi agenda utamanya.
Pencitraan sebagai negara
adidaya yang “Compromise” dan ”Friendly”, lebih mengedepan mewakili
pemerintahan Barack Obama. Ingin bersahabat dengan siapa saja
(pemerintahan/negara), tanda keluwesan Obama setelah delapan tahun terakhir AS
tampil sebagai negara yang haus perang. Kredibilitas AS dimata internasional
nyaris terpuruk, baik oleh sekutu tradisionalnya di Eropa maupun belahan dunia
lain.
D.MELIHAT PRIORITAS UTAMA DARI SMART POWER AMERIKA
SERIKAT
Asia Pasifik harus mendapat
apresisasi yang luar biasa dari dunia karena terpilih menjadi sasaran utama
dalam hal peningkatan hubungan yang lebih baik lagi dengan AS dalam bidang yang
lebih khusus namun dengan negara-negara didunia tentunya pada segala hal dan
aspek yang umum.Mengapa? AS melihat kawasan Asia Pasifik adalah kawasan yang
menjanjikan dalam hal ekonomi.Ekonomi juga merupakan landasan kuat dalam janji
politik Obama kepada rakyat AS.Tak heran memang bahwa presiden sebelumnya,
George W.Bush selain meninggalkan citra buruk terhadap AS juga menyisakan PR
berupa krisis finansial global yang menjadikan AS bulan-bulanan dunia karena
dianggap sebagai sumber krisis yang bermula dari domestik hingga menyebar ke
negara-negara maju dan berkembang lainnya.AS memang berperan penting dalam
menjaga stabilitas dan roda perekonomian dunia.AS dinilai harus menjadi negara
yang paling bertanggung jawab dalam penanganan krisis ini.
Sehingga Obama mencoba
mengambil strategi seperti melihat kawasan yang dianggap memiliki pertumbuhan
ekonomi yang baik bahkan setelah tertimpa krisis ini.Asia Pasifik dipilih
memang bukan tanpa alasan, melainkan disana ada China, India, Singapore,
termasuk Indonesia dan Australia juga Selandia Baru yang tergolong negara yang adem-ayem
dalam hal pertumbuhan ekonomi, tak dipungkiri memang bahwa ada impas buruk dari
krisis global ini, namun pertumbuhan dan pergerakan ekonomi dalam negeri mereka
masing-masing tergolong baik.
Tak heran Obama segera
memerintahkan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton untuk segera membuat
jadwal kunjungan pertamanya ke kawasan ini.Dan ada 4 negara yang dikunjunginya,
antara lain Jepang, Indonesia, Korea Selatan, dan China.Sangat kontras memang
jika dibandingkan dengan pendahulu-pendahulu presiden AS yang lebih memilih
Menlu-nya untuk mendatangi negara atau kawasan yang merupakan
aliansi,partnership, juga sekutu-sekutu baik AS yang banyak berada didaerah
Eropa.Indonesia termansuk negara yang sangat beruntung karena terpilih dari
sekian negara di kawasan Asia Pasifik.Indonesia dinilai memiliki keberagaman
budaya dan kultur juga keharmonisan hubungan dengan AS juga negara-negara lain,
selain negara demokrasi yang besar juga memilki penduduk muslim terbesar di
dunia.Obama memang mencoba melakukan pendekatan dengan negara-negara muslim,
termasuk Indonesia.
Selain pentingnya
Indonesia, Jepang dan China juga masih menjadi langganan kunjungan bagi AS,
khususnya Jepang yang notabene adalah sekutu AS dan juga memiliki background
ekonomi politik yang baik dengan AS. Kedua negara ini akan memberikan banyak
keuntungan bagi AS baik dukungan politik maupun ekonomi AS. Pasar China dan Jepang
sangat besar bagi AS, apalagi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation)
sebelumnya telah berhasil menjadi fakta liberalisasi pasar yang sangat didukung
Presiden Clinton. Secara “Geopolitic’, Geoeconomic”, dan Geostrategy”, wilayah
Asia Pacific dan Asia Tenggara adalah modal besar AS yang harus diselamatkan.
Berakhirnya “Cold War”, Containment Policy”, atau kerangka pembendungan
ideologi komunis, kini berubah menjadi “Economic Block and Trade War”.
Tidak ada alasan kelak
kalau blok-blok ekonomi itu menggejala menjadi kombinasi “Competition in
Protection”. China dan Jepang tidak bisa dikatakan negara yang “Fully Liberal’
di dalam konsep pasar. Banyak hambatan melalui regulasi pemerintah untuk
melindungi industri dan pasarnya.
Meski kedua negara diatas sudah
masuk didalam organisasi WTO. Khusus hubungan AS-Jepang diprediksi oleh Alan
William Wolff dan Thomas A.Kalil dalam analisisnya mengatakan” US-Japan Trade:
the never ending negotiation”. Kasus hubungan ekonomi /perdagangan ini akan
memuncak pada “Trade War”. Yang dimulai dengan skenario ”an abrogation of the
US-Japan security treaty,an abandonment of the multilateral traiding system
trading system, a move toward trading block and a trade war”.
Jadi dimulai dengan
skenario batalnya perjanjian keamanan bersama diikuti dengan ditinggalkannya
era multilateralism, kemudian mengkristal menjadi blok-blok pedagangan “trading
blocks ”, dan berakhir pada perang dagang “Trade War”.
Gejala ini muncul dipicu
dengan alotnya berbagai penyelesaikan kepentingan ekonomi/perdagangan di forum
WTO, yang konon telah menjadi kesepakatan bersama dunia. Krisis ekonomi global
semakin memacu “interest” berbagai negara untuk melindungi kepentingan
ekonominya melalui “Economic & Trade Blocks”.
Kasus dengan China tidak
jauh berbeda dengan Jepang, China disamping juga sangat tertutup, negeri ini
masih menerapkan system politik komunisnya yang tidak semuanya terkesan
terbuka. China dituduh sebagai negara yang sering melanggar “Human Rights”, dan
pelanggaran ”Intelectual Property Rights”, disamping praktek “Dumping”. Tetapi
China sudah menerapkan pola-pola ekonomi kapitalis dengan liberalisasi
investasi masuk ke China.
Hillary sebagai menteri
luar negeri AS bukan saja memperbaiki hubungan politik, melainkan pendekatan
ekonomi sangat “perform “ menjadi interestnya. Apalagi AS sedang dilanda
krisis. Kombinasi pendekatan politik dan ekonomi dengan negara manapun akan
menjadi kepentingan pemerintahan Obama. Bahkan melalui “Smile Diplomacy”nya
Hillary memiliki kerja banyak pilihan melalui pendekatan dengan musuh-musuh AS
selama ini. Misalnya di Amerika Latin akan terjalin kembali “the Spirit of Pan
America”.
Dengan pulihnya hubungan
baik dengan negara-negara Amerika Tengah dan Selatan, Nicaragua, Cuba,Bolivia,
Venezuela, akan menjadi agenda “ Intra America Goodneighbor relationship”.
Di Timur-Tengah wilayah
Asia akan ada kejutan- kejutan langkah Obama menyelesaikan konflik
Israel-Palestina. Mungkin kelak kelompok garis keras Palestina bisa menerima
berbagai tawaran presiden Obama. Tentu paket-paket pendekatan politik- ekonomi
telah dipersiapkan oleh Obama.
Kasus isu nuklir Iran dan
Korea, hanya diperlukan fleksibilitas kepemimpinan. Taruhannya lebih memberikan
peluang dan kesempatan politik luar negera AS yang dikemas Hillary didalam
“Smile Diplomacy”. Program bilateral yang ditawarkan,melunaknya sikap
kepemimpinan, saling percaya dan menguntungkan akan mengeliminasi kecurigaan
antara AS dan negara-negara yang selama ini berseberangan.
E.OBAMA DAN IDEOLOGI POLITIK LUAR NEGERI AMERIKA
SERIKAT
Ada perbedaan mendasar
antara Partai Demokrat dan Partai Republik, walaupun kedua partai itu sama-sama
menganut ideologi liberal ala Amerika. Partai Republik lebih menonjolkan nuansa
konservatisme ketimbang Partai Demokrat yang lebih menonjolkan gaya puritan
demokratis dari ideologi liberalisme.Dibandingkan dengan Partai Republik,
misalnya, Partai Demokrat lebih enggan menggunakan kekuatan militer dalam
penerapan politik luar negerinya. Persoalan HAM, demokrasi, dan lingkungan
hidup tetap menjadi bagian penting dari politik domestik dan luar negeri AS.
Partai Demokrat lebih memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi AS, jaminan sosial, penerapan pajak progresif yang konsisten (khususnya penarikan pajak yang tinggi pada orang kaya AS),pelayanan kesehatan yang lebih baik, perhatian pada pendidikan yang tersebar dan bermutu di seluruh negeri, dan tidak enggan untuk menggunakan kekuatan negara demi keadilan sosial.
Hal penting yang perlu dipahami, penerapan politik luar negeri AS tidaklah akan berubah secara total dan drastis dari pemerintahan Republik ke Demokrat. Berbagai perjanjian internasional atau MoU yang sudah ditandatangani AS dengan berbagai negara tentunya akan tetap berlaku dan dihormati,termasuk berbagai hal yang terkait dengan peningkatan hubungan militer AS dan Indonesia.
Partai Demokrat lebih memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi AS, jaminan sosial, penerapan pajak progresif yang konsisten (khususnya penarikan pajak yang tinggi pada orang kaya AS),pelayanan kesehatan yang lebih baik, perhatian pada pendidikan yang tersebar dan bermutu di seluruh negeri, dan tidak enggan untuk menggunakan kekuatan negara demi keadilan sosial.
Hal penting yang perlu dipahami, penerapan politik luar negeri AS tidaklah akan berubah secara total dan drastis dari pemerintahan Republik ke Demokrat. Berbagai perjanjian internasional atau MoU yang sudah ditandatangani AS dengan berbagai negara tentunya akan tetap berlaku dan dihormati,termasuk berbagai hal yang terkait dengan peningkatan hubungan militer AS dan Indonesia.
Ini berarti diplomasi bukan
hanya didukung oleh kapabilitas militer semata, melainkan oleh pemanfaatan
seluruh kapab i l i t a s yang dimiliki AS seperti ekonomi, intelijen, ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta diplomasi damai lainnya.
Meski AS dalam keadaan resesi ekonomi, tak dapat dipungkiri bahwa AS masih merupakan negara adidaya yang ramah dan masih diharapkan untuk memainkan peran pentingnya dalam geliat dinamika politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta sosial-budaya internasional.
China, India, Rusia, dan Brasil dapat saja dikatakan sebagai kekuatan-kekuatan dunia yang sedang bangkit atau bangkit kembali. Namun,kekuatan kumulatif AS masih jauh lebih unggul dari negara-negara tersebut. Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur Laut akan menjadi mandalamandala utama yang mendapatkan perhatian khusus dalam politik luar negeri AS.
Jangan heran bila masa depan hubungan AS-Rusia, AS-Uni Eropa, AS-negara-negara Timur Tengah, AS dengan Jepang, China,Taiwan dan Korea Selatan akan tetap menjadi perhatian utama AS. Kalaupun Indonesia disebut-sebut baik oleh Obama maupun Hillary Clinton sebagai negara yang dapat memainkan peran positif di Asia Tenggara dan internasional, Indonesia bukanlah negara terpenting dalam perhatian AS ke Asia Tenggara.
Singapura,Thailand, Vietnam,dan Filipina jauh lebih mendapatkan tempat khusus dalam politik luar negeri AS. Masa kecil Obama di Indonesia hanya menempatkan Indonesia sebagai ”negeri yang penuh nostalgia masa kanak-kanak” dan belum tentu menjadi mitra utama di Asia Tenggara.
Bagaimana pula kebijakan AS untuk menyelesaikan konflik di Jalur Gaza? Ini bukan perkara mudah,walau tetap dapat dilakukan AS. Sesungguhnya, Partai Demokrat jauh lebih dekat dengan lobi-lobi Yahudi di AS seperti dengan America-Israel Public Affairs Committee (AIPAC) dibandingkan dengan Partai Republik.
Namun, masyarakat Yahudi Amerika juga ada yang sangat progresif dan properdamaian dengan slogan kampanye mereka ”PeaceNow” seperti organisasi ”J Street” yang baru berdiri di AS.Kampanye ”PeaceNow” juga dikembangkan oleh kalangan Yahudi di Israel sendiri dengan slogan ”Peace in the Palestine=Peace in Israel”.
Di sinilah duet pembuat keputusan dan pelaksana politik luar negeri AS ditantang, apakah kedekatannya dengan Israel dan lobi-lobi Yahudi serta kuku-kuku AS yang tertancap di beberapa negara Arab akan mampu memberi sumbangsih positif bagi perdamaian di Timur Tengah.
Duet ”Obama-Clinton” di bidang politik luar negeri akan mendapatkan acungan dua jempol jika mereka bukan saja mampu menghentikan serangan Israel ke wilayah Gaza yang dikuasai kelompok Hamas, melainkan juga jika AS dapat mendesak Israel, negara-negara Arab,dan dunia untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara dan bangsa.
Meski AS dalam keadaan resesi ekonomi, tak dapat dipungkiri bahwa AS masih merupakan negara adidaya yang ramah dan masih diharapkan untuk memainkan peran pentingnya dalam geliat dinamika politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta sosial-budaya internasional.
China, India, Rusia, dan Brasil dapat saja dikatakan sebagai kekuatan-kekuatan dunia yang sedang bangkit atau bangkit kembali. Namun,kekuatan kumulatif AS masih jauh lebih unggul dari negara-negara tersebut. Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur Laut akan menjadi mandalamandala utama yang mendapatkan perhatian khusus dalam politik luar negeri AS.
Jangan heran bila masa depan hubungan AS-Rusia, AS-Uni Eropa, AS-negara-negara Timur Tengah, AS dengan Jepang, China,Taiwan dan Korea Selatan akan tetap menjadi perhatian utama AS. Kalaupun Indonesia disebut-sebut baik oleh Obama maupun Hillary Clinton sebagai negara yang dapat memainkan peran positif di Asia Tenggara dan internasional, Indonesia bukanlah negara terpenting dalam perhatian AS ke Asia Tenggara.
Singapura,Thailand, Vietnam,dan Filipina jauh lebih mendapatkan tempat khusus dalam politik luar negeri AS. Masa kecil Obama di Indonesia hanya menempatkan Indonesia sebagai ”negeri yang penuh nostalgia masa kanak-kanak” dan belum tentu menjadi mitra utama di Asia Tenggara.
Bagaimana pula kebijakan AS untuk menyelesaikan konflik di Jalur Gaza? Ini bukan perkara mudah,walau tetap dapat dilakukan AS. Sesungguhnya, Partai Demokrat jauh lebih dekat dengan lobi-lobi Yahudi di AS seperti dengan America-Israel Public Affairs Committee (AIPAC) dibandingkan dengan Partai Republik.
Namun, masyarakat Yahudi Amerika juga ada yang sangat progresif dan properdamaian dengan slogan kampanye mereka ”PeaceNow” seperti organisasi ”J Street” yang baru berdiri di AS.Kampanye ”PeaceNow” juga dikembangkan oleh kalangan Yahudi di Israel sendiri dengan slogan ”Peace in the Palestine=Peace in Israel”.
Di sinilah duet pembuat keputusan dan pelaksana politik luar negeri AS ditantang, apakah kedekatannya dengan Israel dan lobi-lobi Yahudi serta kuku-kuku AS yang tertancap di beberapa negara Arab akan mampu memberi sumbangsih positif bagi perdamaian di Timur Tengah.
Duet ”Obama-Clinton” di bidang politik luar negeri akan mendapatkan acungan dua jempol jika mereka bukan saja mampu menghentikan serangan Israel ke wilayah Gaza yang dikuasai kelompok Hamas, melainkan juga jika AS dapat mendesak Israel, negara-negara Arab,dan dunia untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara dan bangsa.
F.EFEKTIFITAS KONSEP SMART POWER DENGAN
INDONESIA
Kunjungan Menlu AS Hillary
Clinton dapat dijadikan momentum yang sangat strategis bagi Indonesia.Presiden
AS yang dengan tegas akan terus mengedepankan konsep soft diplomacy atau dengan
gagasan nama baru smart diplomacy dan membuka jalinan yang lebih baik kepada
negara-negara didunia, termasuk Indonesia.Begitupun bagi Indonesia, AS adalah
mitra yang sangat baik dalam hal hubungan bilateral kedua negara, sama pada
saat kedatangan Clinton ke Indonesia Februari lalu, topik yang banyak dibicarakan
adalah seputar pendidikan, investasi, perdagangan, kesehatan, juga masalah baru
yakni perubahan iklim.Ini merupakan pertanda bahwa AS masih menganggap
Indonesia sebagai mitra baik.
Menyambung ke politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif, Indonesia juga menegaskan soal sistem
demokrasi yang berlaku di negaranya juga terbukti efektif hingga menjadi negara
demokrasi ketiga terbesar didunia.Dimana sistem ini pun digunakan AS di
negaranya selama ratusan tahun yang lalu.Itulah mengapa AS memberikan apresiasi
yang tinggi kepada Indonesia karena dianggap sukses menjalankan roda politik
dengan sistem demokrasi.Selain mengenai isu politik yang berbasis demokrasi,
Indonesia dipilih juga karena jumlah penduduk beragama muslimnya yang terbanyak
didunia.Tak heran memang, pada pidato inagurasi presiden pertamanya, Obama
mengatakan akan membuka suatu jalinan yang lebih formal lagi dan terbuka kepada
dunia muslim.Obama menilai umat muslim didunia memiliki peran penting juga
dalam menjaga kerukunan manusia didunia.Terutama kepada negara muslim yang
selama ini menjadi musuh tetap AS, seperti Iran dan Irak.Kemungkinannya adalah
Indonesia dapat dijadikan perwakilan atau contoh kepada dunia dan negara muslim
lainnya bahwa AS ingin membuat jalinan baik.
Karateristik Islam modern
inilah yang membuat AS tertarik untuk menjadikannya sebagai salah satu negara
yang dikunjungi untuk pertama kalinya.Clinton sendiri berkata, apabila kita
ingin melihat contoh keharmonisan hidup dalam keberagaman ras,etnik,budaya dan
agama, datanglah ke Indonesia.Maka tidaklah mengherankan bagi kita jika dimata
AS kita masih merupakan negara penting baginya disegala sektor.Indonesia
mungkin saja bahkan bisa selalu dijadikan entry point bagi AS kepada dunia
Islam lain.Jika AS ingin selalu membina hubungan baik dengan negara muslim
lainnya, maka AS akan tetap menjaga hubungan baik dengan Indonesia.
Dengan demikian dapat kita
liahat bahwa Indonesia mendapatkan posisi baik dimata AS bahkan kesempatan emas
dalam segala hal yang berhubungan dengan kepentingan nasional negara kita.Atau
dengan kepentingan dunia dan negara-negara sahabat Indonesia.Contohnya saja
dalam kasus penyelesaian konflik Palestina-Israel.Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga meninggalkan pesan kepada Clinton mengenai penyelesaian konflik
yang telah lama terjadi itu, namun kita masih belum melihat hasil positif dari
permohonan negara kita tersebut.
Namun, dengan sistem
demokrasi yang baik dan berpenduduk muslim terbanyak didunia dimata AS,
Indonesia harus tetap hati-hati dalam menjaga hubungan bilateral dengan AS
ini.Karena ini bukan suatu hubungan yang main-main dimana AS melihat Indonesia
adalah negara yang baik dari dulu.Bagaimanapun, AS tetap melihat berdasarkan
kepentingan nasional negaranya dalam setiap pembinaaan hubungan dengan seluruh
negara.Oleh karenanya Indonesia harus tetap mempertimbangkan dua hal, yakni
dengan asas pertimbangan dan penghargaan juga kepentingan timbal balik, dua hal
tersebut juga merupakan pertimbangan Presiden Obama terhdap dunia
Islam.Sehingga kekhawatiran agar terjadinya ekspansi ekonomi dan politik dari
AS ke Indonesia tidak dapat terjadi.
G.SMART DIPLOMACY AMERIKA
SERIKAT KEDEPAN
Sehingga setelah melihat
dari seluruh paparan mengenai hal ini, dapat dikaji ulang bahwa unuk mengukur
keefektifan konsep smart power and diplomacy AS ini masih belum terasa, namun
segala permulaan yang terlihat sudah cukup baik, kita pun terus berharap agar
hal ini terus berjalan sebagaimana mestinya, jadi tidak hanya awalnya saja
namun hingga seterusnya.Segala kritik dan kenegatifan dari konsep ini patut
kita kontrol terus, apakah AS menyalahgunakan kepentingannya? atau malah lebih
parah lagi, ujung-ujungnya menegedepankna kemiliteran dan perang lagi.
Namun, memang apabila kita
mengulik kembali tujuan dan pelaksanaan konsep itu, ternyata memang sangat baik
niatnya.Obama ingin menekankan kepada dunia bahwa ada perubahan yang sedang
terjadi di AS dan hal itu dalam proses ke arah yang benar.Kebijakan luar negeri
AS juga harus selalu ditata ulang karena melihat kondisi dan perkembangan
dunia, jangan sampai kebijakan itu merugikan AS dan negara luarnya kemudian
menjadi tidak populer bagi masyarakat dunia.
AS sepertinya ingin tetap
dianggap sebagai pemimpin dunia sekaligus dijadikan contoh baik dalam pembinaan
hubungan baik dengan seluruh negara didunia.Oleh karena itu, demi
mempertahankan anggapan masyarakat dunia itu, AS tentu harus siap menjadi
pelopor yang baik kepada seluruh negara didunia.Sebagai masyarakat Indonesia,
tentu kita juga berharap agar konsep ini dapat terus bermanfaat bagi negara
kita.Kita juga mendengar janji Obama yang akan menciptakan perdamaian dunia
yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jurnal Hukum
,Jan, 08, 2007, Moh.Faiz, Pan.
2. Suara Merdeka,
Jan, 13, 2006, Internasional
3.
Krieger,david;Iran ,hukum internasional dan senjata nuklir,Feb.2006,google.com
4. Wales, Steven
C., Program nuklir di Iran, Rusia, dan Hukum Internasional, Nov, 23, 2004
google.com
5. Blogdetik.com ;
“Menanti Smart Power Amerika Serikat”
6. Blog.PakTuntung
; Hillary Rodham Clinton : “Smile and Smart diplomacy”
7.
Pikiranrakyat.com ; Hillary Clinton dan misi AS ; Sabtu 23 mei 2009
8. Harian Seputar
Indonesia ; Obama dan politik luar negeri AS ; Nusa Bakti,Ikrar ; Senin 19
Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar